BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG
Eutanasia (Bahasa Yunani:ευ θανασία -ευ,eu yang artinya "baik", danθ άνατος,thanatos yang berarti kematian) adalah
praktek pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap
tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya
dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan. Aturan hukum mengenai masalah ini sangat
berbeda-beda di seluruh dunia dan seringkali berubah seiring dengan perubahan
norma-norma budaya dan tersedianya perawatan atau tindakan medis. Di beberapa
negara, tindakan ini dianggap legal, sedangkan di negara-negara lainnya
dianggap melanggar hukum. Karena sensitifnya isu ini, pembatasan dan prosedur
yang ketat selalu diterapkan tanpa memandang status hukumnya. Sejauh ini Indonesia memang belum
mengatur secara spesifik mengenai euthanasia (Mercy Killing). Euthanasia atau
menghilangkan nyawa orang atas permintaan dirinya sendiri, sama dengan perbuatan pidana menghilangkan
nyawa seseorang. Dan hal ini masih menjadi perdebatan pada beberapa kalangan
yang menyetujui tentang euthanasia dan pihak yang tidak setuju tentang
euthanasia. Pihak yang menyetujui euthanasia dapat
dilakukan, hal ini berdasarkan bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup
dan hak untuk mengakhiri hidupnya dengan segera dan hal ini dilakukan dengan
alasan yang cukup mendukung yaitu alasan kemanusian. Dengan keadaan dirinya yang tidak lagi
memungkinkan untuk sembuh atau bahkan hidup, maka ia dapat melakukan permohonan
untuk segera diakhiri hidupnya. Sementara sebagian pihak yang tidak membolehkan
euthanasia beralasan bahwa setiap manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri
hidupnya, karena masalah hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang
tidak bisa diganggu gugat oleh manusia.
Perdebatan ini
tidak akan pernah berakhir, karena sudut pandang yang dipakai sangatlah
bertolak belakang, dan lagi-lagi alasan perdebatan tersebut adalah masalah
legalitas dari perbuatan euthanasia. Walaupun pada dasarnya di Indonesia
tindakan euthanasia termasuk dalam perbuatan tindak pidana yang diatur dalam
pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Di negara-negara Eropa (Belanda) dan
Amerika tindakan euthanasia mendapatkan tempat tersendiri yang diakui
legalitasnya, hal ini juga dilakukan oleh negara Jepang. Tentunya dalam
melakukan tindakan euthanasia harus melalui prosedur dan
persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar euthanasia bisa dilakukan. Ada tiga petunjuk yang dapat digunakan
untuk menentukan syarat prasarana luar biasa untuk melakukan euthanasia.
Pertama, dari segi medis ada kepastian bahwa penyakit sudah tidak dapat
disembuhkan lagi. Kedua, harga obat dan biaya tindakan medis sudah terlalu
mahal. Ketiga, dibutuhkan usaha ekstra untuk mendapatkan obat atau tindakan
medis tersebut. Dalam kasus- kasus seperti inilah orang sudah tidak diwajibkan
lagi untuk mengusahakan obat atau melakukan tindakan medis. Apabila hukum di Indonesia kelak mau
menjadikan persoalan euthanasia sebagai salah satu materi pembahasan, semoga
tetap diperhatikan dan dipertimbangkan sisi nilai-nilainya, baik sosial, etika,
maupun moral.
BAB
II
ISI
2.1 Euthanasia dalam Perspektif Medis
Dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang medik, kehidupan seorang pasien bisa diperpanjang dan hal
ini sering kali membuat para dokter dihadapkan pada sebuah dilema untuk
memberikan bantuan tersebut apa tidak dan jika sudah terlanjur diberikan
bolehkah untuk dihentikan. Tugas seorang dokter adalah untuk
menolong jiwa seorang pasien, padahal jika dilihat lagi hal itu sudah tidak
bisa dilanjutkan lagi dan jika hal itu diteruskan maka kadang akan menambah
penderitaan seorang pasien. Nah, penghentian pertolongan tersebut merupakan
salah satu bentuk euthanasia. Berdasarkan pada cara terjadinya, ilmu
pengetahuan membedakan kematian kedalam tiga jenis:
1. Orthothansia, merupakan kematian yang terjadi karena proses alamiah
2. Dysthanasia, adalah kematian yang terjadi secara tidak wajar 3. Euthanasia, adalah kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter . Pengertian euthanasia ialah tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif, dan biasanya tindakan ini dilakukan oleh kalangan medis. Sehingga dengan hal demikian akan muncul yang namanya euthanasia positif dan euthanasia negatif. Berikut adalah contoh-contoh tersebut: 1. Seseorang yang sedang menderita kanker ganas atau sakit yang mematikan, yang sebenarnya dokter sudah tahu bahwa seseorang tersebut tidak akan hidup lama lagi. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi justru menghentikan pernapasannya sekaligus.
1. Orthothansia, merupakan kematian yang terjadi karena proses alamiah
2. Dysthanasia, adalah kematian yang terjadi secara tidak wajar 3. Euthanasia, adalah kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter . Pengertian euthanasia ialah tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif, dan biasanya tindakan ini dilakukan oleh kalangan medis. Sehingga dengan hal demikian akan muncul yang namanya euthanasia positif dan euthanasia negatif. Berikut adalah contoh-contoh tersebut: 1. Seseorang yang sedang menderita kanker ganas atau sakit yang mematikan, yang sebenarnya dokter sudah tahu bahwa seseorang tersebut tidak akan hidup lama lagi. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi justru menghentikan pernapasannya sekaligus.
2. Seperti yang
dialami oleh Nyonya Agian (istri hasan) yang mengalami koma selama tiga bulan dan dalam hidupnya membutuhkan
alat bantu pernafasan. Sehingga dia akan bisa melakukan pernafasan
dengan otomatis dengan bantuan alat pernafasan. Dan jika alat pernafasan
tersebut di cabut otomatis jantungnya akan berhenti memompakan darahnya keseluruh
tubuh, maka tanpa alat tersebut pasien tidak akan bisa hidup. Namun, ada yang
menganggap bahwa orang sakit seperti ini sebagai "orang mati" yang tidak mampu
melakukan aktivitas. Maka memberhentikan alat pernapasan itu sebagai
cara yang positif untuk memudahkan proses kematiannya. Hal
tersebut adalah contoh dari euthanasia positif yang dilakukan secara aktif oleh medis. Berbeda dengan euthanasia
negatif yang dalam proses tersebut tidak dilakukan
tindakan secara aktif (medis bersikap pasif) oleh seorang medis dan contohnya sebagai berikut: 1. Penderita kanker yang sudah kritis, orang
sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada bagian kepalanya
atau terkena semacam penyakit pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh.
Atau orang yang terkena serangan penyakit paru- paru yang jika tidak
diobati (padahal masih ada kemungkinan untuk diobati) akan dapat mematikan
penderita. Dalam hal ini, jika pengobatan terhadapnya
dihentikan akan dapat mempercepat kematiannya. 2. Seorang anak yang kondisinya sangat buruk
karena menderita kelumpuhan tulang belakang atau kelumpuhan otak. Dalam
keadaan demikian ia dapat saja dibiarkan (tanpa diberi pengobatan) apabila
terserang penyakit paru-paru atau sejenis penyakit otak, yang mungkin akan dapat
membawa kematian anak tersebut. Dari
contoh tersebut, "penghentian pengobatan" merupakan salah satu bentuk euthanasia negatif.
Menurut gambaran umum, anak-anak yang menderita penyakit seperti itu tidak berumur panjang, maka menghentikan
pengobatan dan mempermudah kematian
secara pasif (euthanasia negatif) itu mencegah perpanjangan penderitaan si anak yang sakit atau kedua
orang tuanya.
2.2 Kode
Etik Kedokteran Indonesia
Dalam KODEKI
pasal 2 dijelaskan bahwa: “seorang dokter harus senantiasa berupaya
melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi”. Jelasnya
bahwa seorang dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya sebagai seorang
profesi dokter harus sesuai dengan ilmu kedokteran mutakhir, hukum dan agama. KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa
“setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup
insani”. Artinya dalam setiap tindakan dokter harus bertujuan untuk memelihara
kesehatan dan kebahagiaaan manusia. Jadi dalam menjalankan profesinya seorang
dokter tidak boleh melakukan: 1. Menggugurkan kandungan (Abortus
Provocatus), 2. Mengakhiri kehidupan seorang pasien yang
menurut ilmu dan pengetahuan tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia) Mengenai
euthanasia, dapat digunakan dalam tiga arti : 1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan
aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Allah di bibir
2.
Waktu hidup akan berakhir (sakaratul maut) penderitaan pasien diperingan dengan memberikan obat penenang 3. Mengakhiri penderitaan dari seorang sakit
dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya. Adapun
unsur-unsur dalam pengertian euthanasia dalam pengertian diatas adalah:
1. Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
2. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien
3. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan
4. Atas permintaan pasien dan keluarganya
5. Demi kepentingan pasien dan keluarganya.
1. Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
2. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien
3. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan
4. Atas permintaan pasien dan keluarganya
5. Demi kepentingan pasien dan keluarganya.
2.3
Euthanasia dalam Perspektif Hukum
Dari sudut
pandang hukum Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak tercantum secara
eksplisit istilah euthanasia dalam pasal-pasalnya, namun bila dikaji lebih
mendalam ternyata beberapa pasal mencakup pengertian itu. Pasal 344 yang
dikenal sebagai pasal euthanasia, menyebutkan “Barang siapa merampas nyawa orang lain
atas permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam
dengan pidana penjara paling lama 12 tahun” Dari bunyi pasal ini dapat disimpulkan
bahwa seseorang tidak boleh merampas nyawa orang lain atau melakukan pembunuhan
walaupun atas permintaan orang itu sendiri. Memang agak sulit untuk
dibayangkan, seseorang membunuh atau menghabisi nyawa orang yang dikenal dengan
baik dan kondisi yang menyedihkan. Namun, sekarang ini dan masa yang akan
dating tampaknya hal ini akan marak terjadi. Maka, hukum memberikan patokan yang
dapat mengantisipasinya. Rumusan kalimat yang perlu dieprhatikan
dalam pasal tersebut adalah “permintaan sendiri dinyatakan dengan kesungguhan
hati”. Seseorang dapat dijerat pidana kalau ditemukan klausa ini. Untuk tidak
disalah gunakan oleh seseorang yang melakukan tindakan sesuai dengan pasal ini,
unsure permintaan yang tegas dan unsure yang sungguh harus dapat dibuktikan
baik dengan adanya saksi atau pembuktian alat-alat lainnya. Tanpa adanya
ketegasan ini sulit untuk ditentukan putusannya.
Di samping pasal 344 KUHP ini, hukum dapat menjerat seseorang
berdasarkan pasal 340 KUHP, yaitu pembunuhan berencana yang menyebutkan ,
“barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama 20 tahun” Klausul “dengan rencana” ini mau menegaskan bahwa tindakan pembunuhan itu telah diatur sedemikian rupa, sehingga korban tidak dapat bertindak apa-apa. Hukuman bagi orang yang melakukan pembunuhan terencana mendapat sangsi hukum yang sangat berat, yakni hukuman mati, penjara seumur hidup atau penjara selama 25 tahun.
Di samping itu, pasal 338 KUHP juga memberikan batasan tegas untuk menuntu orang yang melakukan pembunuhan biasa. Dikatakan demikian, “Barangsiapa yang sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.”
Jadi, ada aturan yang jelas dalam hukuman posotif yang berlaku di Indonesia. Selain itu, pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan UU HAM pada tahun 1999. pada BAB III Pasal 9 dengan tegas dinyatakan demikian :
1. setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya.
“barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama 20 tahun” Klausul “dengan rencana” ini mau menegaskan bahwa tindakan pembunuhan itu telah diatur sedemikian rupa, sehingga korban tidak dapat bertindak apa-apa. Hukuman bagi orang yang melakukan pembunuhan terencana mendapat sangsi hukum yang sangat berat, yakni hukuman mati, penjara seumur hidup atau penjara selama 25 tahun.
Di samping itu, pasal 338 KUHP juga memberikan batasan tegas untuk menuntu orang yang melakukan pembunuhan biasa. Dikatakan demikian, “Barangsiapa yang sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.”
Jadi, ada aturan yang jelas dalam hukuman posotif yang berlaku di Indonesia. Selain itu, pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan UU HAM pada tahun 1999. pada BAB III Pasal 9 dengan tegas dinyatakan demikian :
1. setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya.
2. setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, serta sejahtera lahir dan batin.
3. setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Ayat 1 menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf hidupnya. Hak untuk hidup ini melekat dalam diri manusia sejak dalam kandungan. Sikap tegas ini meolak bentuk aborsi. Namun, pada bagian penjelasan dikatakan bahwa aborsi dapat dilaksanakan apabila ada kasus khusus yang menuntu hal itu, demi kepentingan hidup ibu. Juga pidana mati diperolehkan kalau itu merupakan putusan akhir dari pengadilan . Baik KUHP maupun UU tentang HAM tahun 1999 menyatakan bahwa secara hukum atau yuridis, tindakan euthanasia ditolak di Indonesia, hukum membela secara tegas hidup manusia, karena hidup manusia itu dipandang sebagai sesuatu yang lkuhur yang tidak boleh diganggu gugat. Hal ini sesuai dengan jiwa UUD 45 dan Pancasila serta mengacu kepada Declaration Of Human Rights.
Legalisasi euthanasia Legalisasi euthanasia merupakan usaha melegalkan tindakan euthanasia agar diperbolehkan secara umum artinya, bukan merupakan tindakan pelanggaran hukum atau norma yang berlaku. Sekarang ini usaha legalisasi euthanasia makin berkembang pesat di hampir semua belahan dunia. Ada negara yang sudah memperbolehkan melakukan euthanasia secara legal dan terang-terangan. Namun, masih banyak juga negara yang menolak dengan tegas. Hal ini terus menjadi perdebatan yang sangat pelik dalam kehidupan bersaa saat ini. Di Indonesia sendiri nampaknya upaya legalisasi euthanasia kurang berkembang karena ada beberapa alas an, seperti pemerintah baru saja mengluarkan UU RI No.39 th.1999 tentang HAM perhatian terhadap hidup manusia masih dijunjung itnggi dan budaya untuk menghormati manusia sebagai makhluk yangmempunyai martabat yang luhur masih tertanam kuat dalam hati masyarakat. Ada beberapa negara yang sangat ketat melarang adanya euthanasia, diantaranya Indonesia dan America. Ada pula negara yang memberikan kebebasan bagi tindakan euthanasia seperti Uruguay. Jerman dan Swiss memandang bahwa tindakan euthanasia merupakan tindakan pembunuhan namun tidak dikatakan sebagai suatu tindakan kriminalitas yang berat sementara negara Norwegia melihat bahwa euthanasia merupakan tindakan pembunuhan khusus dan didasarkan pada pertimbangan khusus. Sekarang ini ada gerakan besar untuk mengupayakan agar euthanasia dilegalkan oleh hukum yang berlaku. Gerakan itu adalah “Voluntary euthanasia legalation Society” yang didirikan di Inggris dan “euthanasia Soiety America” yang didirikan di America. Mereka memperjuangkan agar euthanasia dipandang bukan merupakan kejahatan, kriminal dan bebas dari hukuman yang berat. Alas an mereka adalah manusia mempunyai hak untuk mati atau The Right Body. Oleh karena itu, apabila ada orang yang diminta untuk membantu proses kematian seseorang, orang ini tidak bersalah Namun, beberapa ahli hukum juga berpendapat bahwa tindakan melakukan perawatan medis yang tidak ada gunanya, secara yurudis dapat dianggap sebagai penganiayaan. Ini berkaitan dengan batas ilmu kedokteran yang dikuasai oleh seorang dokter. Tindakan di luar batas ilmu kedokteran tersebut dapat dikatakan di luar kompetensi dokter tersebut untuk melakukan perawatan medis. Dengan kalimat lain, apabila suatu tindakan dapat dinilai tidak ada gunanya sama sekali, dokter tidak lagi berkompeten melakukan perawatan medis. Dengan penjelasan tersebut, Pasal 351 KUHP (penganiayaan) dapat diterapkan apabila tindakan medis yang tidak berguna sama sekali tersebut dilaksanakan oleh seorang dokter terhadap pasiennya dengan tanpa ijin dari pasien tersebut. Hubungan hukum dokter-pasien juga dapat ditinjau dari sudut perdata. Pasal-pasal 1313, 1324, 1315, dan 1319 KUH Perdata mengatur hal perjanjian tersebut. Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian dituntut ijin berdasarkan kemauan bebas dari kedua belah pihak. Dengan demikian, apabila seorang dokter melakukan tindakan medis tanpa seijin pasien, secara hukum dapat diterapkan Pasal 351 KUHP (penganiayaan). Berdasarkan hal-hal tersebut, para ahli menyimpulkan bahwa seorang dokter seharusnya tidak memulai suatu terapi atau tidak meneruskan suatu terapi, jikalau secara medis tidak dapat diharapkan suatu hasil. Apalagi apabila tindakan itu dilakukan tanpa ijin pasien. Dengan begitu tindakan menghentikan perawatan medis (yang tidak ada gunanya lagi) bukan maksud untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasien, tetapi justru untuk mencegah tindakan medis yang tidak lagi merupakan kompetensinya. Namun, upaya melegalkan euthanasia masih mendapat perlawanan yang sangat kuat dari beberapa kalangan. Hal ini menunjukan bahwa kesadaran orang akan keluhuran hidup manusia masi nsagat tinggi. Mereka beranggapan bahwa hidup manusia itu perlu dijunjung tinggi sebagai suatu rahmat Tuhan yang tiada taranya.
Secara formal hukum yang berlaku di negara kita memang tidak mengizinkan tindakan euthanasia oleh siapapun (termasuk para tenaga paramedis dan dokter), melihat dari pasal-pasal KUHP. Pada pasal 334 di atas, yang telah jelas dilarang oleh KUHP adalah euthanasia aktif, dengan atau tanpa permintaan pasien ataupun keluarganya. Menariknya, UU No. 23/1992 tentang kesehatan ternyata belum mengakomodasi soal euthanasia ini dalam pasal-pasalnya, sedangkan di lain pihak beberapa pasal KUHP tadi belum memberikan batasan yang tegas dalam hal euthanasia.
2.4 Konsepsi Euthanasia
Euthanasia dalam Oxford English
Dictionary dirumuskan sebagai “kematian yang lembut dan nyaman, dilakukan
terutama dalam kasus penyakit yang penuh penderitaan dan tak tersembuhkan”.
Istilah yang sangat populer untuk menyebut jenis pembunuhan ini adalah mercy
killing (Tongat, 2003 : 44). Sementara itu menurut Kamus Kedokteran
Dorland euthanasia mengandung dua pengertian. Pertama, suatu kematian yang
mudah atau tanpa rasa sakit. Kedua, pembunuhan dengan kemurahan hati,
pengakhiran kehidupan seseorang yang menderita penyakit yang tak dapat
disembuhkan dan sangat menyakitkan secara hati-hati dan disengaja. Secara konseptual dikenal tiga bentuk
euthanasia, yaitu voluntary euthanasia (euthanasia yang dilakukan atas
permintaan pasien itu sendiri karena penyakitnya tidak dapat disembuhkan dan
dia tidak sanggup menahan rasa sakit yang diakibatkannya). Non voluntary
euthanasia (di sini orang lain, bukan pasien, mengandaikan, bahwa euthanasia
adalah pilihan yang akan diambil oleh pasien yang berada dalam keadaan tidak
sadar tersebut jika si pasien dapat menyatakan permintaannya). Involuntary
euthanasia (merupakan pengakhiran kehidupan pada pasien tanpa persetujuannya).
2.5 Konstruksi
Yuridis Euthanasia
Munculnya pro dan kontra seputar persoalan euthanasia menjadi beban
tersendiri bagi komunitas hukum. Sebab, pada persoalan “legalitas” inilah
persoalan euthanasia akan bermuara. Kejelasan tentang sejauh mana hukum
(pidana) positif memberikan regulasi/pengaturan terhadap persoalan euthanasia
akan sangat membantu masyarakat di dalam menyikapi persoalan tersebut. Lebih-
lebih di tengah kebingungan kultural karena munculnya pro dan kontra tentang
legalitasnya. Patut menjadi catatan, bahwa secara
yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal satu
bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan
pasien/korban itu sendiri (voluntary euthanasia) sebagaimana secara eksplisit
diatur dalam Pasal 344 KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan, “Barang
siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas
dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama
dua belas tahun”. Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP
tersebut tersimpul, bahwa pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap
diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di
Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan
demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan
“pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas permintaan orang itu sendiri.
Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai
perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Mengacu
pada ketentuan tersebut di atas, maka munculnya kasus permintaan tindakan medis
untuk mengakhiri kehidupan yang muncul akhir-akhir ini (kasus Hasan Kesuma yang
mengajukan suntik mati untuk istrinya, Ny. Agian dan terakhir kasus Rudi
Hartono yang mengajukan hal yang sama untuk istrinya, Siti Zulaeha) perlu
dicermati secara hukum. Kedua kasus ini secara konseptual dikualifikasi sebagai
non voluntary euthanasia, tetapi secara yuridis formal (dalam KUHP) dua kasus
ini tidak bisa dikualifikasi sebagai euthanasia sebagaimana diatur dalam Pasal
344 KUHP. Secara
yuridis formal kualifikasi (yang paling mungkin) untuk kedua kasus ini adalah
pembunuhan biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 KUHP, atau pembunuhan
berencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUHP.
Dalam ketentuan Pasal 338 KUHP secara tegas dinyatakan, “ Barang siapa sengaja
merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara
paling lama lima belas tahun”. Sementara dalam ketentuan Pasal 340 KUHP
dinyatakan, “ Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dulu
merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan berencana, dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama
dua puluh tahun”. `
Di luar dua ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat
digunakan untuk menjerat pelaku euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 (3) KUHP
yang juga mengancam terhadap “Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan
bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum”. Selain itu patut juga diperhatikan adanya
ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304 dan Pasal 306 (2). Dalam
ketentuan Pasal 304 KUHP dinyatakan, “Barang siapa dengan sengaja menempatkan
atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang
berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan,
perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara
paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima
ratus rupiah”. Sementara dalam
ketentuan Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, “Jika mengakibatkan kematian,
perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun”. Dua ketentuan terakhir tersebut di atas
memberikan penegasan, bahwa dalam konteks hukum positif di Indonesia,
meninggalkan orang yang perlu ditolong juga dikualifikasi sebagai tindak
pidana. Dua pasal terakhir ini juga bermakna melarang terjadinya euthanasia
pasif yang sering terjadi di Indonesia.
2.6
Negara yang Melegalkan Euthanasia
Sejauh ini euthanasia diperkenankan yaitu di
negara Belanda, Belgia serta ditoleransi di negara bagian Oregon di Amerika,
Kolombia dan Swiss dan dibeberapa negara dinyatakan sebagai kejahatan seperti
di Spanyol, Jerman dan Denmark
2.6.1 Belanda
Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan
undang-undang yang mengizinkan euthanasia, undang-undang ini dinyatakan efektif
berlaku sejak tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda menjadi negara
pertama di dunia yang melegalisasi praktik euthanasia. Pasien-pasien yang
mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri
penderitaannya. Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda
secara formal euthanasia
dan bunuh diri
berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal.
Sebuah karangan berjudul "The
Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam majalah Human Life
International Special Report Nomor 67,
November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di
Belanda dimungkinkan melakukan euthanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan
asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut
adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang
spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.
Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara
hukum mengatur kewajiban para dokter untuk melapor semua kasus euthanasia dan
bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya
prosedurnya. Pada tahun 2002, sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah
dikodifikasi oleh undang-undang belanda, dimana seorang dokter yang melakukan
euthanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum.
2.6.2 Australia Negara bagian Australia, Northern Territory,
menjadi tempat pertama di dunia dengan UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh
diri berbantuan, meski reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory menerima UU yang disebut
"Right of the terminally ill bill" (UU tentang hak pasien terminal).
Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan Maret 1997
ditiadakan oleh keputusan Senat Australia,
sehingga harus ditarik kembali.
2.7 Eutanasia Menurut Ajaran Agama
2.7.1 Dalam
Ajaran Gereja Katolik Roma
Sejak pertengahan abad ke-20, gereja
Katolik telah berjuang untuk memberikan pedoman sejelas mungkin mengenai
penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak tersembuhkan, sehubungan
dengan ajaran moral gereja mengenai eutanasia dan sistem penunjang hidup. Paus
Pius XII, yang tak hanya menjadi saksi dan mengutuk program-program egenetika
dan eutanasia Nazi, melainkan juga menjadi saksi atas dimulainya sistem-sistem
modern penunjang hidup, adalah yang pertama menguraikan secara jelas masalah
moral ini dan menetapkan pedoman. Pada tanggal 5 Mei tahun 1980 , kongregasi
untuk ajaran iman telah menerbitkan Dekalarasi tentang eutanasia
("Declaratio de euthanasia") yang menguraikan pedoman ini lebih
lanjut, khususnya dengan semakin meningkatnya kompleksitas sistem-sistem penunjang
hidup dan gencarnya promosi eutanasia sebagai sarana yang sah untuk mengakhiri
hidup. Paus Yohanes Paulus II, yang prihatin dengan semakin meningkatnya
praktek eutanasia, dalam ensiklik Injil Kehidupan (Evangelium Vitae) nomor 64
yang memperingatkan kita agar melawan "gejala yang paling mengkhawatirkan
dari `budaya kematian' dimana jumlah orang-orang lanjut usia dan lemah yang
meningkat dianggap sebagai beban yang mengganggu." Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan
bahwa eutanasia merupakan tindakan belas kasihan yang keliru, belas kasihan
yang semu: "Belas kasihan yang sejati mendorong untuk ikut menanggung
penderitaan sesama. Belas kasihan itu tidak membunuh orang, yang
penderitaannya tidak dapat kita tanggung" (Evangelium Vitae, nomor 66)
2.7.2 Dalam Ajaran Agama Hindu
Pandangan agama
Hindu terhadap euthanasia adalah didasarkan pada ajaran tentang karma, moksa
dan ahimsa. Karma adalah merupakan suatu konsekwensi
murni dari semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang
buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata-kata atau tindakan. Sebagai
akumulasi terus menerus dari "karma" yang buruk adalah menjadi
penghalang "moksa" yaitu suatu ialah kebebasan dari siklus
reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan utama dari penganut ajaran Hindu. Ahimsa adalah merupakan prinsip
"anti kekerasan" atau pantang menyakiti siapapun juga. Bunuh diri
adalah suatu perbuatan yang terlarang di dalam ajaran Hindu dengan pemikiran
bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi suatu factor yang mengganggu pada saat
reinkarnasi oleh karena menghasilkan "karma" buruk. Kehidupan manusia
adalah merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga untuk meraih tingkat
yang lebih baik dalam kehidupan kembali. Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila
seseorang melakukan bunuh diri, maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun
surga melainkan tetap berada didunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa
tujuan hingga ia mencapai masa waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan
: misalnya umurnya waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia ditakdirkan
hidup hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya berkelana tanpa arah tujuan),
setelah itu maka rohnya masuk ke neraka menerima hukuman lebih berat dan
akhirnya ia akan kembali ke dunia dalam kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk
menyelesaikan "karma" nya terdahulu yang belum selesai dijalaninya
kembali lagi dari awal.
2.7.3 Dalam
Ajaran Agama Buddha
Ajaran agama Buddha sangat menekankan
kepada makna dari kehidupan dimana penghindaran untuk melakukan pembunuhan
makhluk hidup adalah merupakan salah satu moral dalam ajaran Budha. Berdasarkan
pada hal tersebut di atas maka nampak jelas bahwa euthanasia adalah sesuatu
perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dalam ajaran agama Budha. Selain daripada
hal tersebut, ajaran Budha sangat menekankan pada "welas asih"
("karuna") . Mempercepat kematian seseorang secara tidak
alamiah adalah merupakan pelanggaran terhadap perintah utama ajaran Budha yang
dengan demikian dapat menjadi "karma" negatif kepada siapapun yang
terlibat dalam pengambilan keputusan guna memusnahkan kehidupan seseorang
tersebut.
2.7.4 Dalam
Ajaran Islam Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya
(Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun
hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat
menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22: 66; 2: 243). Oleh
karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks
dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati
demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Dan
belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu
sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain
disebutkan, "Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29),
yang makna langsungnya adalah "Janganlah kamu saling berbunuhan."
Dengan
demikian, seorang Muslim (dokter) yang membunuh seorang Muslim lainnya (pasien)
disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri. Eutanasia dalam ajaran Islam
disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia), yaitu suatu tindakan
memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena
kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara
positif maupun negatif. Pada konferensi pertama tentang kedokteran
Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang
membenarkan dilakukannya eutanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan
(mercy killing) dalam alasan apapun juga .
v
Eutanasia Positif
Yang dimaksud taisir al-maut
al-fa'al (eutanasia positif) ialah tindakan memudahkan kematian si sakit—karena
kasih sayang—yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat).
Memudahkan proses kematian secara
aktif (eutanasia positif)adalah tidak diperkenankan oleh syara'. Sebab dalam
tindakan ini seorang dokter melakukan suatu tindakan aktif dengan tujuan
membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara
overdosis dan ini termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa
besar yang membinasakan. Perbuatan demikian itu adalah termasuk
dalam kategori pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si
sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter
tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada Yang Menciptakannya. Karena itu
serahkanlah urusan tersebut kepada Allah Ta'ala, karena Dia-lah yang memberi
kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang
telah ditetapkan- Nya.
v
Eutanasia Negatif
Eutanasia negatif disebut dengan taisir
al-maut al-munfa'il. Pada eutanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau
langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya
dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Hal ini
didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada
gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah
(hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat. Di antara masalah
yang sudah terkenal di kalangan ulama syara' ialah bahwa mengobati atau berobat
dari penyakit tidak wajib hukumnya menurut jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab.
Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum
mubah. Dalam hal ini hanya segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang
dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi'i dan Imam Ahmad sebagaimana
dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, dan sebagian ulama lagi
menganggapnya mustahab (sunnah).
2.7.5 Dalam
Ajaran Gereja Ortodoks
Pada ajaran Gereja Ortodoks, gereja
senantiasa mendampingi orang-orang beriman sejak kelahiran hingga sepanjang
perjalanan hidupnya hingga kematian dan alam baka dengan doa, upacara/ritual,
sakramen, khotbah, pengajaran dan kasih, iman dan pengharapan. Seluruh
kehidupan hingga kematian itu sendiri adalah merupakan suatu kesatuan dengan
kehidupan gerejawi. Kematian itu adalah sesuatu yang buruk sebagai suatu simbol
pertentangan dengan kehidupan yang diberikan Tuhan. Gereja Ortodoks memiliki
pendirian yang sangat kuat terhadap prinsip pro-kehidupan dan oleh karenanya
menentang anjuran eutanasia.
2.7.6 Dalam
Ajaran Agama Yahudi
Ajaran agama Yahudi melarang eutanasia
dalam berbagai bentuk dan menggolongkannya kedalam "pembunuhan". Hidup
seseorang bukanlah miliknya lagi melainkan milik dari Tuhan yang memberikannya
kehidupan sebagai pemilik sesungguhnya dari kehidupan. Walaupun tujuannya mulia
sekalipun, sebuah tindakan mercy killing ( pembunuhan berdasarkan belas
kasihan), adalah merupakan suatu kejahatan berupa campur tangan terhadap
kewenangan Tuhan. Dasar
dari larangan ini dapat ditemukan pada Kitab Kejadian dalam alkitab Perjanjian
Lama Kej 1:9 yang berbunyi :" Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa
kamu, Aku akan menuntut balasnya; dari segala binatang Aku akan menuntutnya,
dan dari setiap manusia Aku akan menuntut nyawa sesama manusia". Pengarang
buku : HaKtav v'haKaballah menjelaskan bahwa ayat ini adalah merujuk kepada
larangan tindakan eutanasia.
2.7.7 Dalam Ajaran Protestan
Gereja Protestan terdiri dari berbagai
denominasi yang mana memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam pandangannya
terhadap eutanasia dan orang yang membantu pelaksanaan eutanasia.
Beberapa
pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :
Gereja Methodis
(United Methodist church) dalam buku ajarannya menyatakan bahwa : "
penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan pasien terminal
membutuhkan suatu keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan tentang hingga
kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut benar-benar dapat mendukung
kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup
tersebut". Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan
nutrisi buatan dan hidrasi sebagai suatu perawatan medis yang bukan merupakan
suatu perawatan fundamental. Dalam kasus dimana perawatan medis tersebut
menjadi sia-sia dan memberatkan, maka secara tanggung jawab moral dapat
dihentikan atau dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.
Seorang
kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk
melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian
tubuh adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih
baik. Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa
apabila tindakan mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu
pemaaf untuk perbuatan dosa, juga dimasa depan merupakan suatu racun bagi dunia
perawatan kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas pengobatan. Sejak awalnya,
cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam menanggapi masalah "bunuh
diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing)
adalah dari sudut "kekudusan kehidupan" sebagai suatu pemberian
Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga adalah bertentangan dengan
maksud dan tujuan pemberian tersebut.
2.8 Contoh
Kasus Euthanasia
2.8.1 Kasus Panca Satria Hasan Kusuma –
Indonesia
Sebuah permohonan untuk melakukan
euthanasia pada tanggal 22 Oktober 2004 telah diajukan oleh seorang suami
bernama Panca Satria Hasan Kusuma karena tidak tega menyaksikan istrinya yang
bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun, tergolek koma selama 3 bulan pasca operasi
caesar dan disamping itu ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan
merupakan suatu alasan pula. Permohonan untuk melakukan euthanasia ini diajukan
ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini merupakan salah satu contoh
bentuk euthanasia yang diluar keinginan pasien. Permohonan ini akhirnya ditolak
oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani perawatan intensif
maka kondisi terakhir pasien (7 Januari 2005) telah mengalami kemajuan dalam
pemulihan kesehatannya.
2.8.2 Kasus Rudi Hartono – Indonesia
Koma selama 3,5 bulan setelah menjalani operasi di RSUD Pasar Rebo pada
bulan Oktober 2004 dengan diagnosa hamil di luar kandungan. Namun setelah
dioperasi ternyata hanya ada cairan di sekitar rahim. Setelah diangkat, operasi
tersebut mengakibatkan Siti Zulaeha, mengalami koma dengan tingkat kesadaran di
bawah level binatang. Sang suami, Rudi Harto mengajukan permohonan euthanasia
ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tangggal 21 Februari 2005. Permohonan
yang ditandatangani oleh suami, orang tua serta kakak dan adik Siti Zulaeha.
2.8.3 Kasus Seorang Wanita New Jersey -
Amerika Serikat Seorang
perempuan berusia 21 tahun dari New Jersey, Amerika Serikat, pada tanggal 21
April 1975 dirawat di rumah sakit dengan menggunakan alat bantu pernapasan
karena kehilangan kesadaran akibat pemakaian alkohol dan zat psikotropika
secara berlebihan. Oleh karena tidak tega melihat penderitaan sang anak,
maka orang tuanya meminta agar dokter menghentikan pemakaian alat bantu
pernapasan tersebut. Kasus permohonan ini kemudian dibawa ke pengadilan, dan
pada pengadilan tingkat pertama permohonan orang tua pasien ditolak, namun pada
pengadilan banding permohonan dikabulkan sehingga alat bantu pun dilepaskan
pada tanggal 31 Maret 1976. Pasca penghentian penggunaan alat bantu tersebut,
pasien dapat bernapas spontan walaupun masih dalam keadaan koma. Dan baru
sembilan tahun kemudian, tepatnya tanggal 12 Juni 1985, pasien tersebut
meninggal akibat infeksi paru-paru (pneumonia).
2.8.4 Kasus
Terri Schiavo Terri
Schiavo (usia 41 tahun) meninggal dunia di negara bagian Florida, 13 hari
setelah Mahkamah Agung Amerika memberi izin mencabut pipa makanan (feeding
tube) yang selama ini memungkinkan pasien dalam koma ini masih dapat hidup. Komanya mulai
pada tahun 1990 saat Terri jatuh di rumahnya dan ditemukan oleh suaminya,
Michael Schiavo, dalam keadaan gagal jantung. Setelah ambulans tim medis
langsung dipanggil, Terri dapat diresusitasi lagi, tetapi karena cukup lama ia
tidak bernapas, ia mengalami kerusakan otak yang berat, akibat kekurangan oksigen.
Menurut kalangan medis, gagal jantung itu disebabkan oleh ketidakseimbangan
unsur potasium dalam tubuhnya. Oleh karena itu, dokternya kemudian dituduh
malapraktek dan harus membayar ganti rugi cukup besar karena dinilai lalai
dalam tidak menemukan kondisi yang membahayakan ini pada pasiennya. Setelah Terri Schiavo selama 8 tahun berada
dalam keadaan koma, maka pada bulan Mei 1998 suaminya yang bernama Michael
Schiavo mengajukan permohonan ke pengadilan agar pipa alat bantu makanan pada
istrinya bisa dicabut agar istrinya dapat meninggal dengan tenang, namun orang
tua Terri Schiavo yaitu Robert dan Mary Schindler menyatakan keberatan dan
menempuh langkah hukum guna menentang niat menantu mereka tersebut. Dua kali
pipa makanan Terri dilepaskan dengan izin pengadilan, tetapi sesudah beberapa
hari harus dipasang kembali atas perintah hakim yang lebih tinggi. Ketika
akhirnya hakim memutuskan bahwa pipa makanan boleh dilepaskan, maka para
pendukung keluarga Schindler melakukan upaya-upaya guna menggerakkan Senat
Amerika Serikat agar membuat undang-undang yang memerintahkan pengadilan
federal untuk meninjau kembali keputusan hakim tersebut. Undang-undang ini
langsung didukung oleh Dewan Perwakilan Amerika Serikat dan ditandatangani oleh
Presiden George Walker Bush. Tetapi, berdasarkan hukum di Amerika kekuasaan
kehakiman adalah independen, yang pada akhirnya ternyata hakim federal
membenarkan keputusan hakim terdahulu.
2.8.5 Kasus "Doctor Death"
Dr. Jack Kevorkian yang dijuluki "Doctor Death", seperti
dilaporkan Lori A. Roscoe. Pada awal April 1998, di Pusat Medis Adven Glendale,
di California diduga puluhan pasien telah "ditolong" oleh Kevorkian
untuk menjemput ajalnya di RS tersebut. Kevorkian berargumen apa yang
dilakukannya semata demi "menolong" mereka. Tapi para penentangnya
menyebut, apa yang dilakukannya adalah pembunuhan.
2.8.6 Kasus Rumah Sakit Boramae – Korea Pada tahun 2002, ada seorang pasien
wanita berusia 68 tahun yang terdiagnosa menderita penyakit sirosis hati (liver
cirrhosis). Tiga bulan setelah dirawat, seorang dokter bermarga Park umur 30
tahun, telah mencabut alat bantu pernapasan (respirator) atas permintaan anak
perempuan si pasien. Pada Desember 2002, anak lelaki almarhum tersebut meminta
polisi untuk memeriksa kakak perempuannya beserta dua orang dokter atas tuduhan
melakukan pembunuhan. Seorang dokter yang bernama dr. Park mengatakan bahwa si
pasien sebelumnya telah meminta untuk tidak dipasangi alat bantu pernapasan
tersebut. 1 minggu sebelum meninggalnya, si pasien amat menderita oleh penyakit
sirosis hati yang telah mencapai stadium akhir, dan dokter mengatakan bahwa
walaupun respirator tidak dicabutpun, kemungkinan hanya dapat bertahan hidup
selama 24 jam saja.
2. 9 Prosedur Pengajuan Euthanasia di Indonesia Di Indonesia masalah euthanasia masih belum
mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan
Hukum Positif Indonesia, euthanasia akan mendapatkan tempat yang diakui secara
yuridis. Kasus pengajuan permohonan euthanasia oleh suami Agian ke Pengadilan
Negeri Jakarta, tidak dikabulkan. Dan akhirnya korban yang mengalami koma dan
ganguan permanen pada otaknya sempat dimintakan untuk dilakukan euthanasia, dan
sebelum permohonan dikabulkan korban sembuh dari komanya dan dinyatakan sehat
oleh dokter. Terakhir adalah pengajuan euthanasia oleh suami Siti Zulaeha ke
pengadilan yang sama pada tahun 2005. Dari kasus diatas kita bisa menangkap
prosedur yang harus dilakukan oleh pemohon euthanasia, bahkan hal ini sangat
berbeda dengan yang dilakukan di Negara lain yang prosedurnya sangat ketat dan
rapi. Sehingga orang akan berfikir untuk melakukan euthanasia.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan Penulis
menentang dilakukannya euthanasia atas dasar etika, agama, moral dan legal, dan
juga dengan pandangan bahwa apabila dilegalisir, euthanasia dapat
disalahgunakan. Kelompok pro- euthanasia mungkin akan menentang pendapat ini
dengan menggunakan argumen quality of life, autonomi dan inkonsistensi hukum. Namun demikian,
argumen-argumen yang telah dikemukakan di atas lebih kuat. Argumen pertama
yaitu secara etika, tugas seorang dokter adalah untuk menyembuhkan, bukan
membunuh. Untuk mempertahankan hidup, bukan untuk mengakhirinya. Dasar agama
adalah argumen berikutnya, di mana dokter percaya kesucian dan kemuliaan
kehidupan manusia. Dari
segi legal, seorang dokter yang melakukan euthanasia atau membantu orang yang
bunuh diri telah melakukan tindakan melanggar hukum. Argumen terakhir adalah
sulitnya untuk melegalisir euthanasia karena sulitnya membuat standar prosedur
yang efektif.
Mengingat kondisi
demikian, yang dibutuhkan adalah perawatan dan pendampingan, baik bagi si
pasien maupun bagi pihak keluarga. Perhatian dan kasih sayang sangat diperlukan
bagi penderita sakit terminal, bukan lagi bagi kebutuhan fisik, tetapi lebih
pada kebutuhan psikis dan emosional, sehingga baik secara langsung maupun tidak,
kita dapat membantu si pasien menyelesaikan persoalan-persoalan pribadinya dan
kemudian hari siap menerima kematian penuh penyerahan kepada penyelenggaraan
Tuhan Yang Maha Esa. Bagaimanapun si pasien adalah manusia yang masih hidup,
maka perlakuan yang seharusnya adalah perlakuan yang manusiawi kepadanya.
3.2
Saran Apabila hukum
di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan euthanasia sebagai salah satu
materi pembahasan, semoga tetap diperhatikan dan dipertimbangkan sisi
nilai-nilainya, baik dari aspek sosial, etika, moral maupun agama.
DAFTAR
PUSTAKA
v Kristiantoro,
Amb Sigit, Euthanasia, Perspektif Moral Hidup.
v Http://www.kompas.com/kompas-cetak/0410/15/ilpeng/1325806.htm
Jumat, 15 Oktober 2004
v Qardhawi, Yusuf,
Fatwa-fatwa Kontemporer. Gema Insani Press.
v Tongat,
Hukum Pidana Materiil. Djambatan. 2003.
v Soehino, kitab
Undang-undang Hukum Pidana Indonesia.
Politeia. Bogor
v _________, The Slippery
Slope of Dutch Euthanasia. Human Life International Special Report Nomor 67,
November 1998.
v Tongat, Euthanasia dalam
persepektif hukum pidana di Indonesia.(makalah). Malang. 14 Februari 2005.
v Suswati, Irma.
Euthanasia, (makalah).Malang,14 Februari 2005.
v
_________, Pemerintah
Diminta Bentuk UU Euthanasia,
v http://cybermed.cbn.net.id/Friday,
5
v November 2004 14:14:14
WIB.
v
Wibudi, Aris,
Euthanasia.(makalah) http://rudyct.tripod.com/sem2_012/aris_wibudi.
ITB. Bogor. 2002
v
Terbarzana, Rina Rehulina,
Euthanasia. http://www.myquran.org/. 09 Agustus 2005
v
Multihunter,
http://one.indoskripsi.com/node/9189. 5 April 2009
Http://id.wikipedia.org/wiki/Eutanasia
Http://id.wikipedia.org/wiki/Eutanasia
How to bet on the Baccarat - Wales
BalasHapusIn the United Kingdom, kadangpintar a bet on horse racing is only one part of the game. In a typical bookmaker's betting 샌즈카지노 shop, you have to pick a winner from the worrione odds of each